Minggu, 04 September 2016

Pro dan Kontra Pengajaran Mambaca Pada Anak Usia Dini


*Suwarsi
Aktivitas mengajarkan membaca pada Pendidikan Anak  Usia Dini sampai sekarang masih menjadi pro dan kontra, masing-masing punya alasan baik yang pro  maupun yang kontra. Bagi yang tidak setuju, lebih banyak dipengaruhi teori psikologi perkembangan Jean Piaget yang selama ini menjadi rujukan utama kurikulum di TK dan bahkan pendidikan secara umum. Anak-anak pada usia di bawah 7 tahun tidak boleh diajari membaca, menulis dan berhitung karena menurut Piaget pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkrit. Fase operasional konkret adalah fase di mana anak sudah bisa berpikir terstruktur (Ormrod, 2008).
              Sementara kegiatan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga kegiatan ini tidak boleh diberikan pada anak usia dini yaitu anak yang  berusia 0-6 tahun atau di bawah 7 tahun.  Calistung yang  diajarkan pada anak usia dini dikhawatirkan akan membebani otak anak sehingga dampaknya anak-anak akan mengalami kebosanan dan anak-anak akan membenci aktivitas belajar ini.
                   Pada pihak yang menyetujui  pemberian pembelajaran calistung pada anak usia dini didasari pada asumsi bahwa kurikulum kelas 1 SD hanya bisa diikuti oleh anak-anak yang sudah lancar membaca. Bagi anak-anak yang belum bisa membaca ketika masuk sekolah dasar maka akan sulit mengikuti pelajaran. Hal ini juga yang kemudian menimbulkan kegelisahan di kalangan orang tua ketika anak-anak mereka belum bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar. Fenomena banyaknya SD yang dianggap sebagai sekolah unggulan mengadakan serangkaian tes  untuk menyaring calon-calon siswanya, yang seringkali hanya anak-anak yang sudah lancar membaca saja yang akhirnya mereka terima, menambah daftar hal yang menyebabkan beberapa pihak ini setuju dengan pembelajaran calistung (Siantayani, 2011).
              Sementara paradigma baru yang berkembang berdasarkan kajian ilmiah maupun bukti-bukti  empirik ditemukan tentang pentingnya memberikan stimulasi sejak dini untuk mengembangkan dan mengoptimalkan setiap aspek –aspek kecerdasan pada anak usia dini. Stimulasi identik dengan pemberian rangsangan yang berasal dari lingkungan di sekitar anak guna lebih mengoptimalkan aspek perkembangan anak (Mashar, 2008). Stimulasi yang dimaksud di sini juga termasuk dalam hal keaksaraan yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan membaca anak. Pernyataan ini dipertegas oleh Weigel ( 2008 ) yang mengatakan bahwa lingkungan tambahan yang disiapkan di rumah dan sekolah untuk mengembangkan kemampuan literasi terbukti memberikan pengaruh positif dalam memberikan pengalaman yang optimal bagi anak dalam mengembangkan kemampuan membaca.
            Pada saat usia 0-6 tahun anak-anak mengalami masa emas (golden age) sehingga pada masa ini apa pun bisa diajarkan kepada anak termasuk membaca, menulis, maupun berhitung karena pada masa ini anak mengalami perkembangan otak yang maksimal.  Masa ini kemudian juga dikenal sebagai periode dimana  aspek-aspek  yang spesifik  dalam perkembangan anak sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Ormrod, 2008).
Periode kritis adalah masa-masa ketika pembelajaran mudah dilakukan dan setelah periode kritis lewat, belajar menjadi sesuatu yang sulit (bahkan tidak mungkin). Periode tersebut diilustrasikan dengan kisah  bayi burung gereja belajar berkicau dengan baik jika mereka dipaparkan pada kicauan burung dewasa selama anak burung itu belum belajar terbang, yang jika dalam jangka waktu itu  anak burung belum belajar berkicau, mereka tidak akan pernah mampu berkicau secara sempurna. Inilah gambaran periode kritis pada burung gereja (Santrock, 2007).
Keterampilan bahasa anak berkembang pesat dan penguasaan kosakata yang meningkat memungkinkan mereka mengekpresikan dan memikirkan beragam obyek dan peristiwa pada tahap pra operasional yang terjadi pada periode kritis ini. Bahasa  juga menjadi dasar bagi bentuk interaksi sosial yang baru yakni komunikasi verbal. Pada tahap ini anak-anak juga dapat mengekspresikan pemikiran-pemikiran mereka dan juga menerima informasi  yang sebelumnya tidak mungkin terjadi (Ormrod, 2008).
Anak-anak merupakan pribadi yang siap untuk terus-menerus belajar sepanjang kita menyediakan kesempatan yang tepat untuknya (Powel, 2010). Monks, Knoers, & Haditono (dalam Mashar, 2008) menyatakan bahwa pemberian stimulasi yang tepat dapat mempertinggi kemampuan aspek-aspek perkembangan, namun apabila stimulasi yang diberikan tidak tepat, akan memberi akibat yang tidak baik.
Anak-anak seharusnya tidak dipaksa dan ditekan untuk belajar terlalu banyak dan terlalu dini dalam perkembangan mereka sebelum siap dan matang. Banyak orangtua menghabiskan berjam-jam setiap harinya memegang kartu-kartu bertuliskan kata-kata tertentu untuk meningkatkan kosakata baru. Dalam pandangan penganut paham Piaget, hal tersebut bukanlah cara terbaik anak belajar. Penekanan semacam itu menimbulkan beban dalam mempercepat perkembangan intelektual, menjadikan proses pembelajaran bersifat pasif dan tidak membawa hasil yang diharapkan (Santrock, 2007).
Pada masa anak usia dini, saat periode kritis berlangsung, merupakan saat yang tepat untuk mengajari mereka berbagai hal termasuk membaca, meskipun pemberian pembelajaran terhadap anak usia dini tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip pembelajaran pada pendidikan anak usia dini yaitu bahwa pembelajaran harus dilakukan dengan cara bermain dan menyenangkan. Hanya dengan bermain anak-anak akan merasa senang, nyaman, bebas bereksplorasi dan bebas berekspresi sehingga belajar akan lebih efektif. Comenius (dalam Suryabrata, 2006) menyatakan bahwa di sekolah harus diberikan bahan pelajaran (bahan pendidikan) yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak dan harus dipergunakan cara-cara mendidik yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak.
                   Metode yang tepat dan disampaikan dengan bermain ini akan menghilangkan kekhawatiran bahwa anak akan terbebani otaknya, mengalami kebosanan dan akhirnya membenci aktivitas belajar (Siantayani, 2011). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak ditemui guru atau pendidik PAUD yang mengajarkan membaca ini dengan metode yang kurang tepat karena kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran pada anak usia dini, aspek-aspek perkembangan anak dan aspek-aspek psikologis anak usia dini.
                   Kebanyakan metode pengajaran membaca diajarkan dengan cara-cara konvensional di mana anak harus duduk kemudian dihadapannya ada buku atau dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Sehingga diperlukan metode pengajaran membaca pada anak yang memberikan kesempatan pada anak untuk aktif dan ekspresif dan dengan penyampaian yang menyenangkan sehingga anak merasa tidak bosan. Di samping itu sebuah metode pengajaran membaca yang mampu mengakomodasi anak dengan berbagai gaya belajar baik visual, auditori maupun kinestetik. Hal ini akan menjadikan belajar membaca akan lebih efektif karena ketika guru mengajar dengan gaya belajar sama dengan yang dimiliki oleh anak maka akan membuat pembelajaran itu efektif (Chatib, 2011). Sementara kebanyakan metode membaca hanya mengakomodasi anak-anak dengan gaya belajar visual saja.
                   Metode pengajaran membaca yang menyenangkan ini menjadi sangat penting bagi anak karena ketika anak mempunyai pengalaman belajar membaca yang menyenangkan maka hal ini akan berdampak pada kecintaan anak pada aktivitas membaca sehingga anak tidak hanya bisa membaca tetapi suka membaca. Sebaliknya ketika anak mempunyai pengalaman belajar membaca yang tidak menyenangkan atau membosankan bahkan dengan dipaksa dan dalam keadaan tertekan maka anak hanya akan bisa membaca tetapi tidak suka membaca.Ketidaksukaan anak dengan aktivitas membaca ini tentu akan sangat berbahaya bagi anak di kemudian hari terutama pada jenjang pendidikan di atasnya mengingat kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi, apabila anak tidak memiliki kemampuan ini maka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi.
``                 Gerakan PAUD Nasional mencita-citakan anak-anak Indonesia sebagai insan cerdas komprehensif. Cerdas komprehensif artinya cerdas secara menyeluruh dari berbagai aspek baik sikap,pengetahuan dan ketrampilan seperti yang dicanangkan oleh kurikulum PAUD 2013. Anak-anak yang beriman yang mampu menyongsong masa depannya, bisa bersaing dan tangguh menghadapi tantangan globalisasi, mampu menjadikan bangsanya menjadi bangsa besar yang disegani oleh bangsa-bangsa lain.

                                                                      *Suwarsi, S.Si, M.Si
                                                                          Alumnus S2 Psikologi Pendidikan UMS
                                                                       Pengelola KBIT & TKIT Insan Kamil Karanganyar
                                                                       Ketua Himpaudi Kabupaten Karanganyar periode 2006-2015
Cat: keluar edisi maret


       Sumber / Referensi:
       Ormrod, J.2008. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang.Jakarta: Airlangga.
       Siantayani, Y.2011. Persiapan Membaca Bagi Balita. Yogyakarta:Krizter Publiser.
       Mashar, R.2008. Pengaruh Stimulasi “Aku Anak Ceria”Terhadap Peningkatan Emosi Positif Anak Usia Dini. Humanitas. Vol5.No.2, Agustus 2008, hal 149-164.
       Weigel, J. Lowman,J & Martin, S. 2007. “Langange Development in The Year Before School: A Comparison of Developmental Assets in Home and Child Development and Care”. Vol 177 No . 6 & 7.PP 719-734
       Chatib, M. 2012.Orang Tuanya Manusia. Jakarta: Mizan Media Utama.
      


Posting Komentar

 
Copyright © 2014 SUWARSI OFFICIAL WEBSITE