*Suwarsi
Aktivitas
mengajarkan membaca pada Pendidikan Anak
Usia Dini sampai sekarang masih menjadi pro dan kontra, masing-masing
punya alasan baik yang pro maupun yang
kontra. Bagi yang tidak setuju, lebih banyak dipengaruhi teori psikologi
perkembangan Jean Piaget yang selama ini menjadi rujukan utama kurikulum di TK
dan bahkan pendidikan secara umum. Anak-anak pada usia di bawah 7 tahun tidak
boleh diajari membaca, menulis dan berhitung karena menurut Piaget pada usia di
bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkrit. Fase operasional
konkret adalah fase di mana anak sudah bisa berpikir terstruktur (Ormrod,
2008).
Sementara kegiatan membaca,
menulis dan berhitung (Calistung) dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan
cara berpikir terstruktur, sehingga kegiatan ini tidak boleh diberikan pada
anak usia dini yaitu anak yang berusia
0-6 tahun atau di bawah 7 tahun.
Calistung yang diajarkan pada
anak usia dini dikhawatirkan akan membebani otak anak sehingga dampaknya
anak-anak akan mengalami kebosanan dan anak-anak akan membenci aktivitas
belajar ini.
Pada pihak yang
menyetujui pemberian pembelajaran
calistung pada anak usia dini didasari pada asumsi bahwa kurikulum kelas 1 SD
hanya bisa diikuti oleh anak-anak yang sudah lancar membaca. Bagi anak-anak
yang belum bisa membaca ketika masuk sekolah dasar maka akan sulit mengikuti
pelajaran. Hal ini juga yang kemudian menimbulkan kegelisahan di kalangan orang
tua ketika anak-anak mereka belum bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar.
Fenomena banyaknya SD yang dianggap sebagai sekolah unggulan mengadakan
serangkaian tes untuk menyaring
calon-calon siswanya, yang seringkali hanya anak-anak yang sudah lancar membaca
saja yang akhirnya mereka terima, menambah daftar hal yang menyebabkan beberapa
pihak ini setuju dengan pembelajaran calistung (Siantayani, 2011).
Sementara paradigma baru yang berkembang berdasarkan
kajian ilmiah maupun bukti-bukti empirik
ditemukan tentang pentingnya memberikan stimulasi sejak dini untuk
mengembangkan dan mengoptimalkan setiap aspek –aspek kecerdasan pada anak usia
dini. Stimulasi identik dengan pemberian rangsangan yang berasal dari
lingkungan di sekitar anak guna lebih mengoptimalkan aspek perkembangan anak
(Mashar, 2008). Stimulasi yang dimaksud di sini juga termasuk dalam hal
keaksaraan yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan membaca anak. Pernyataan
ini dipertegas oleh Weigel ( 2008 ) yang mengatakan bahwa lingkungan tambahan
yang disiapkan di rumah dan sekolah untuk mengembangkan kemampuan literasi
terbukti memberikan pengaruh positif dalam memberikan pengalaman yang optimal
bagi anak dalam mengembangkan kemampuan membaca.
Pada
saat usia 0-6 tahun anak-anak mengalami masa emas (golden age) sehingga pada masa ini apa pun bisa diajarkan kepada
anak termasuk membaca, menulis, maupun berhitung karena pada masa ini anak
mengalami perkembangan otak yang maksimal.
Masa ini kemudian juga dikenal sebagai periode dimana aspek-aspek
yang spesifik dalam perkembangan
anak sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Ormrod, 2008).
Periode kritis adalah
masa-masa ketika pembelajaran mudah dilakukan dan setelah periode kritis lewat,
belajar menjadi sesuatu yang sulit (bahkan tidak mungkin). Periode tersebut
diilustrasikan dengan kisah bayi burung
gereja belajar berkicau dengan baik jika mereka dipaparkan pada kicauan burung
dewasa selama anak burung itu belum belajar terbang, yang jika dalam jangka
waktu itu anak burung belum belajar
berkicau, mereka tidak akan pernah mampu berkicau secara sempurna. Inilah
gambaran periode kritis pada burung gereja (Santrock, 2007).
Keterampilan bahasa anak
berkembang pesat dan penguasaan kosakata yang meningkat memungkinkan mereka mengekpresikan
dan memikirkan beragam obyek dan peristiwa pada tahap pra operasional yang
terjadi pada periode kritis ini. Bahasa
juga menjadi dasar bagi bentuk interaksi sosial yang baru yakni
komunikasi verbal. Pada tahap ini anak-anak juga dapat mengekspresikan
pemikiran-pemikiran mereka dan juga menerima informasi yang sebelumnya tidak mungkin terjadi
(Ormrod, 2008).
Anak-anak merupakan pribadi
yang siap untuk terus-menerus belajar sepanjang kita menyediakan kesempatan
yang tepat untuknya (Powel, 2010). Monks, Knoers, & Haditono (dalam Mashar,
2008) menyatakan bahwa pemberian stimulasi yang tepat dapat mempertinggi
kemampuan aspek-aspek perkembangan, namun apabila stimulasi yang diberikan
tidak tepat, akan memberi akibat yang tidak baik.
Anak-anak seharusnya tidak
dipaksa dan ditekan untuk belajar terlalu banyak dan terlalu dini dalam perkembangan
mereka sebelum siap dan matang. Banyak orangtua menghabiskan berjam-jam setiap
harinya memegang kartu-kartu bertuliskan kata-kata tertentu untuk meningkatkan
kosakata baru. Dalam pandangan penganut paham Piaget, hal tersebut bukanlah
cara terbaik anak belajar. Penekanan semacam itu menimbulkan beban dalam
mempercepat perkembangan intelektual, menjadikan proses pembelajaran bersifat
pasif dan tidak membawa hasil yang diharapkan (Santrock, 2007).
Pada masa anak usia dini,
saat periode kritis berlangsung, merupakan saat yang tepat untuk mengajari
mereka berbagai hal termasuk membaca, meskipun pemberian pembelajaran terhadap
anak usia dini tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip pembelajaran pada pendidikan
anak usia dini yaitu bahwa pembelajaran harus dilakukan dengan cara bermain dan
menyenangkan. Hanya dengan bermain anak-anak akan merasa senang, nyaman, bebas
bereksplorasi dan bebas berekspresi sehingga belajar akan lebih efektif. Comenius
(dalam Suryabrata, 2006) menyatakan bahwa di sekolah harus diberikan bahan
pelajaran (bahan pendidikan) yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak dan
harus dipergunakan cara-cara mendidik yang sesuai dengan perkembangan jiwa
anak.
Metode yang tepat dan disampaikan dengan bermain ini akan
menghilangkan kekhawatiran bahwa anak akan terbebani otaknya, mengalami
kebosanan dan akhirnya membenci aktivitas belajar (Siantayani, 2011). Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak ditemui guru atau pendidik PAUD yang
mengajarkan membaca ini dengan metode yang kurang tepat karena kurang
memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran pada anak usia dini, aspek-aspek
perkembangan anak dan aspek-aspek psikologis anak usia dini.
Kebanyakan metode pengajaran membaca diajarkan
dengan cara-cara konvensional di mana anak harus duduk kemudian dihadapannya
ada buku atau dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Sehingga
diperlukan metode pengajaran membaca pada anak yang memberikan kesempatan pada
anak untuk aktif dan ekspresif dan dengan penyampaian yang menyenangkan
sehingga anak merasa tidak bosan. Di samping itu sebuah metode pengajaran
membaca yang mampu mengakomodasi anak dengan berbagai gaya belajar baik visual,
auditori maupun kinestetik. Hal ini akan menjadikan belajar membaca akan lebih
efektif karena ketika guru mengajar dengan gaya belajar sama dengan yang
dimiliki oleh anak maka akan membuat pembelajaran itu efektif (Chatib, 2011). Sementara
kebanyakan metode membaca hanya mengakomodasi anak-anak dengan gaya belajar
visual saja.
Metode pengajaran membaca yang menyenangkan ini
menjadi sangat penting bagi anak karena ketika anak mempunyai pengalaman
belajar membaca yang menyenangkan maka hal ini akan berdampak pada kecintaan
anak pada aktivitas membaca sehingga anak tidak hanya bisa membaca tetapi suka
membaca. Sebaliknya ketika anak mempunyai pengalaman belajar membaca yang tidak
menyenangkan atau membosankan bahkan dengan dipaksa dan dalam keadaan tertekan
maka anak hanya akan bisa membaca tetapi tidak suka membaca.Ketidaksukaan anak
dengan aktivitas membaca ini tentu akan sangat berbahaya bagi anak di kemudian
hari terutama pada jenjang pendidikan di atasnya mengingat kemampuan membaca
merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi, apabila anak tidak
memiliki kemampuan ini maka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam
mempelajari berbagai bidang studi.
`` Gerakan PAUD Nasional mencita-citakan anak-anak
Indonesia sebagai insan cerdas komprehensif. Cerdas komprehensif artinya cerdas
secara menyeluruh dari berbagai aspek baik sikap,pengetahuan dan ketrampilan
seperti yang dicanangkan oleh kurikulum PAUD 2013. Anak-anak yang beriman yang
mampu menyongsong masa depannya, bisa bersaing dan tangguh menghadapi tantangan
globalisasi, mampu menjadikan bangsanya menjadi bangsa besar yang disegani oleh
bangsa-bangsa lain.
*Suwarsi, S.Si, M.Si
Alumnus S2 Psikologi Pendidikan UMS
Pengelola
KBIT & TKIT Insan Kamil Karanganyar
Ketua Himpaudi
Kabupaten Karanganyar periode 2006-2015
Cat: keluar edisi maret
Sumber / Referensi:
Ormrod, J.2008. Psikologi
Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang.Jakarta: Airlangga.
Siantayani, Y.2011. Persiapan
Membaca Bagi Balita. Yogyakarta:Krizter Publiser.
Mashar, R.2008. Pengaruh
Stimulasi “Aku Anak Ceria”Terhadap Peningkatan Emosi Positif Anak Usia Dini. Humanitas.
Vol5.No.2, Agustus 2008, hal 149-164.
Weigel, J. Lowman,J & Martin, S. 2007. “Langange Development in The Year Before
School: A Comparison of Developmental Assets in Home and Child Development and
Care”. Vol 177 No . 6 & 7.PP 719-734
Chatib, M. 2012.Orang
Tuanya Manusia. Jakarta: Mizan Media Utama.

